contact person

Ibu Nuniek 021-36270101


robot forex trading otomatis

Rabu, 23 Mei 2012

Komunitas Sekolah-rumah Sebuah Model Pemenuhan Hak atas Pendidikan


Rabu, 02 Mei 2007

Yanti Sriyulianti

Memindahkan anak-anak dari sekolah secara permanen menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara homeschooling alias sekolah-rumah. Bagi masyarakat kita, ijazah masih menjadi satu-satunya modal untuk meningkatkan taraf hidup. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini sumber daya sekolah di Indonesia diarahkan untuk selembar ijazah yang diperoleh dengan sistem penilaian sesaat untuk menentukan kelulusan.
Belajar tiga tahun di sekolah menengah seolah tidak berarti apa pun dalam menentukan kelulusan dari sekolah. Akibatnya, guru-guru, sekolah, bahkan dinas terkait mengarahkan anak-anak untuk mengejar nilai akhir. Jika demikian halnya, apa jadinya anak-anak bangsa di masa depan?

Sejatinya, pemenuhan hak atas pendidikan menjadi komitmen pemerintah. Demikian juga dengan upaya penyatuan berbagai komitmen global untuk mencapai pendidikan untuk semua (education for all). Kerangka Kerja Aksi Dakar mempertegas bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia (HAM) dan telah menekankan pentingnya komitmen pemerintah untuk mewujudkan pendidikan berbasis HAM yang diimplementasikan untuk semua pada lingkup negara.
Menurut Katarina Tomasevski dalam buku Pendidikan Berbasis Hak Asasi, agar pendidikan dapat disediakan (available) pemerintah perlu menjamin pendidikan tanpa biaya dan wajib belajar bagi semua anak. Pemerintah juga dituntut menghargai kebebasan para orangtua untuk memilihkan anak-anaknya dalam memperoleh pendidikan berkualitas.

Agar pendidikan dapat dijangkau (accessible), penghapusan diskriminasi sebagai mandat dari undang-undang HAM internasional perlu menjadi prioritas kebijakan pendidikan. Agar pendidikan dapat diterima (acceptable), hak-hak manusia seyogianya diterapkan dalam proses pembelajaran. Agar pendidikan dapat disesuaikan (adaptable), pendidikan perlu menyesuaikan minat utama setiap individu anak.
Di tengah keengganan pemerintah untuk mendengar amanat hati nurani warga negara terkait dengan korban UN 2006 dan memenuhi amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas mengenai anggaran 20 persen dari APBN dan APBD, ada secercah harapan dengan adanya pengakuan Direktorat Kesetaraan Ditjen PLS Depdiknas terhadap komunitas sekolah-rumah.
Pendidik terbaik

Apakah saya dapat menjadi pendidik? Hampir semua orangtua akan bertanya seperti ini ketika memutuskan untuk memilih sekolah-rumah sebagai model pendidikan bagi anak-anak. Apakah mungkin bagi orangtua untuk beralih fungsi menjadi guru bagi anak? Bukankah perlu waktu bertahun-tahun untuk memenuhi kualifikasi guru?
Jawabannya adalah "ya". Namun, belajar di sekolah sangat berbeda daripada belajar di sekolah-rumah. Pengelompokan anak-anak sebaya dengan minat dan kemampuan yang berbeda selama 6-7 jam sehari dalam satu ruang kelas pasti memerlukan profesional yang sejahtera.

Bagi anak, mengembangkan potensi secara aktif berarti melestarikan pengetahuan, penguasaan, dan kebajikan dengan pengalaman belajar yang menyenangkan dalam bimbingan pendidik terbaik. Homeschooling atau sekolah-rumah tidak menuntut orangtua menjadi guru layaknya guru dalam ruang kelas. Cukup dengan mendorong anak untuk menumbuhkan pengalaman belajar dalam balutan cinta, kasih sayang, dan kehangatan keluarga. Keberhasilan sekolah-rumah sebenarnya sudah dimulai ketika orangtua menyadari bahwa tiap anak adalah sebaik-baiknya ciptaan Tuhan.

Pengalaman belajar kami sebagai orangtua diperoleh ketika Zakky (11), anak kami, disiapkan untuk sekolah-rumah sejak Oktober 2005 dan berhenti dari sebuah sekolah alternatif di Jakarta. Sebelumnya, Zakky mendapatkan model pendidikan anak merdeka dari kelas I sampai IV di SD Hikmah Teladan Cimahi. Tujuh bulan lamanya masa transisi dari sekolah ke sekolah-rumah kami lalui dengan membaca sejarah penemu dan ciptaannya serta melatih cara berpikir kritis, peduli, dan kreatif untuk menjalankan kembali pendidikan anak merdeka.

Sejarah merupakan gerbang yang membuka cara berpikir dan imajinasi jauh melebihi dataran, waktu, dan peradaban manusia. Cerita atau dongeng sejarah membantu anak-anak memahami bagaimana orang- orang pada waktu dan tempat yang berbeda, bagaimana perbedaan karakteristik masyarakat dan peradaban manusia berubah dan bagaimana mereka bisa bersama-sama menghasilkan karya- karya terbaik yang tak lekang oleh zaman. Cerita-cerita terpilih seperti kisah para nabi, biografi penemu-penemu ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sejarah bangsa-bangsa mendorong motivasi berprestasi, cara menyikapi kegagalan dan kajian untuk bertahan hidup.

Cerita Fitry (15) tentang mitologi dari negara Skandinavia mengenai penciptaan dunia manusia yang diperolehnya saat menelusuri referensi tentang gerhana matahari, atau antusiasme Zakky menggali referensi tentang sejarah penciptaan alam semesta setelah keluar dari planetarium, menyadarkan saya akan waktu-waktu berharga untuk tumbuh bersama anak-anak yang sudah lama hilang. Anak- anak pada dasarnya telah jadi pendidik terbaik.
Awalnya, kami memfasilitasi pembelajaran Zakky dalam bentuk menyediakan guru dari SD Hikmah Teladan dan mengajak keluarga penggiat sekolah-rumah lainnya untuk bergabung. Setelah mencari informasi dari beragam sumber, kami memutuskan untuk membuka komunitas sekolah-rumah dengan menguatkan partisipasi anak dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.

Pengajaran harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Pengajaran harus mempertinggi saling pengertian, rasa saling menerima, serta rasa persahabatan di antara semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan atau golongan penganut agama, serta harus memajukan kegiatan-kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian.
Dalam konteks ini, komunitas sekolah-rumah sebagai model pendidikan kesetaraan yang diakui pemerintah ditantang untuk bisa menjamin perlindungan anak agar tidak menyalahi prinsip penyelenggaraan yang diamanatkan UU Sisdiknas maupun praktik indoktrinasi yang mengarah pada fanatisme.
Modal belajar

Penyelenggara sekolah-rumah tidak perlu berlelah-lelah dengan batasan kurikulum dalam sebuah kelas yang disibukkan oleh 24 anak, bahkan lebih. Ketika hambatan terhadap penghargaan ditiadakan, minat dan kemampuan anak terus digali serta tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, maka budaya belajar jadi niscaya.
Masalahnya, belum banyak orangtua yang yakin dapat mempraktikkan hal ini. Seminar, lokakarya, dan pelatihan parenting mungkin dapat membantu. Tapi, ini belum lengkap tanpa pendampingan program belajar keluarga.
Menghadirkan fasilitator yang berpengalaman dalam mengimplementasikan pendidikan anak merdeka dalam Forum OK! (Obrolan Keluarga) ternyata dapat memperkuat komunitas sekolah-rumah.

Setiap keluarga penyelenggara sekolah-rumah dapat berbagi pengalaman belajar sambil mendiskusikan perkembangan anak- anak dalam suasana yang penuh kekeluargaan. Bahkan, kini sudah ada asosiasi sekolah-rumah dan pendidikan alternatif yang diharapkan dapat menjadi badan amanah bagi komunitas sekolah-rumah dan pendidikan alternatif di Indonesia.
Seluruhnya menjadi modal belajar yang sangat berarti bagi komunitas sekolah-rumah. Apalagi jika komitmen pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran yang memadai bagi pemenuhan hak atas pendidikan berkualitas dan bebas biaya tidak hanya bagi anak-anak sekolah, tetapi juga bagi pelaksana sekolah-rumah dan pendidikan alternatif segera direalisasikan.

Yanti Sriyulianti Praktisi Pendidikan dan Penggerak Sekolah-Rumah


Faktor Pemicu dan Pendukung Homeschooling


Faktor Pemicu dan Pendukung Homeschooling
Kegagalan sekolah formal

Baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat menghasilkan didikan bermutu.
Teori Inteligensi ganda
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda (Multiple Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (1983) yang digagas oleh Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi ganda. Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi (kecerdasan) manusia.


Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis inteligensi tersebut adalah:Inteligensi linguistik; Inteligensi matematis-logis; Inteligensi ruang-visual; Inteligensi kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal; Inteligensi intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi eksistensial.
Teori Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali malahan memasung inteligensi anak.
(Buku acuan yang dapat digunakan mengenai teori inteligensi ganda ini dalam bahasa Indonesia ini, Teori Inteligensi Ganda, oleh Paul Suparno, Kanisius: 2003).

Sosok homeschooling terkenal
Banyaknya tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling. Sebut saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya.
Benyamin Franklin misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan, penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti sekolah karena orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.
Tersedianya aneka sarana
Dewasa ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual).



Homeschooling, efektifkah ?


Homeschooling, efektifkah ?
Rabu, 30 September 2009 - 11:03 wib

LEBIH konsentrasi dan penyerapan mata pelajaran bisa maksimal. Itulah beberapa alasan orangtua memilih home schooling untuk pendidikan buah hatinya. Benarkah alasan tersebut? Tidak semua orangtua sepakat untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah umum.
Banyak alasan, salah satunya adalah kurang bermutunya pendidikan di sekolah-sekolah umum, sehingga terlalu banyak murid yang ditangani guru dalam satu ruang kelas. Ujungnya, penyerapan pelajaran pun tak maksimal.
Pendapat itu memang tidak berlebihan, karena memang di sekolah umum, satu orang guru bisa mengajar 20 bahkan sampai 30 anak dalam satu ruang kelas. Sedangkan diyakini, bahwa kemampuan masing-masing anak dalam menangkap mata pelajaran yang diberikan berbeda-beda.
Home schoolingpun lantas dilirik sebagai alternatifnya. Tidak seperti di sekolah umum, home schooling (sekolah di rumah) ini memiliki konsep yang biasanya satu guru akan menghadapi satu atau dua murid saja. Selain tentu saja lebih bisa ditertibkan, dengan home schooling, anak bisa lebih berkonsentrasi dalam menangkap pelajaran. Mutu mata pelajaran yang diberikan, juga bisa dipilih, sesuai dengan apa yang dibutuhkan anak saat itu.
Walaupun bisa menjaga kualitas pendidikan atau pengajaran kepada anak-anak yang belajar di rumah, bukan tidak berarti pendidikan jenis ini tidak mengalami kekurangan. Salah satu kekurangan yang paling menonjol dari home schoolingadalah anak tidak bisa bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya.
Kasus seperti inilah yang kemudian menjadi perdebatan hangat di kalangan pengajar serta psikolog anak. Sebab, pendidikan yang berkualitas tidak akan bermanfaat jika anak tidak bisa bersosialisasi dengan teman-teman seusianya.
Untuk mengatasi hal itu, biasanya anak-anak home schooling melakukan aktivitas luar ruang, seperti olahraga, program kepanduan, bakti sosial, atau bahkan kerja sambilan, jika usia mereka sudah cukup remaja.
Praktisi home schooling biasanya mengandalkan dukungan kelompok untuk mendukung dan mengadakan kontak personal dengan keluarga-keluarga yang berpikiran sama tentang home schooling ini. Larry Shyers dari Universitas Florida menulis disertasi doktoral yang mempertanyakan perkembangan sosial anak-anak yang berada di home schooling.
Dalam penelitiannya, anak-anak umur 8?10 tahun direkam dengan video saat bermain. Perilaku mereka diobservasi konselor-konselor terlatih yang tidak dikonfirmasi mana anak-anak yang bersekolah biasa dan mana yang di home schooling. Hasilnya ternyata sangat mengejutkan. Penelitian tersebut menyatakan tidak ada perbedaan besar antara kedua kelompok tersebut tentang konsep diri,walaupun anak tidak bersekolah di sekolah umum.
Tapi yang jelas, rekaman tersebut menunjukkan bahwa anak-anak yang belajar di rumah atau melakukan home schooling dengan orangtuanya secara konsisten tidak banyak bermasalah dengan bakat, kemampuan, dan cara bersosialisasi.
Susan Nelson, seorang pengembang kurikulum dan konsultan home schooling dari Amerika, menyatakan bahwa orangtua akan merasakan tugas-tugas mereka lebih sederhana jika mereka menentukan tujuan utama mengapa mereka menjadi pendidik-pendidik di rumah, termasuk untuk memfasilitasi anak dengan pengalaman-pengalaman belajar yang menarik, atau untuk mempersiapkan anak untuk memasuki sekolah formal.
Seperti pendidikan formal lainnya, home schooling juga bisa mengajarkan berbagai jenis mata pelajaran pada anak-anak, misalnya pada pagi hari anak dapat berlatih bahasa Inggris, bermain piano, dan menulis. Tiap sore anak bisa diajarkan membaca dengan cara pergi ke perpustakaan atau bisa pula melakukan jelajah hutan atau mengamati alam.
"Tidak ada yang salah dari pendidikan di rumah atau home schooling pada anak-anak jika dilakukan dengan benar,? kata psikolog anak alumni Universitas Indonesia (UI), Dr Wiryawan.
Jika di Indonesia orang tua masih sangat takut kalau anak-anaknya tidak mendapatkan ijazah resmi, sejumlah universitas seperti Harvard dan Yale mengizinkan anak-anak home schooling untuk kuliah dan belajar di kampus terkenal tersebut. Bahkan dilaporkan, bahwa siswa-siswa home schoolingmemenangkan persaingan pendaftaran ke perguruan tinggi favorit.
Tanpa transkrip akademik dari SMU formal, pendaftar dapat mengumpulkan sampel atau portofolio kerja mereka, surat rekomendasi dari orangtua, atau juga guru yang membantu.
Tercatat, 1.657 keluarga home schooling menyatakan bahwa siswa home schoolingingin melanjutkan ke perguruan tinggi: 69 persen responden memilih untuk ambil pendidikan lanjutan sekunder yang formal. Bahkan dari datadata yang ada, siswahome schooling yang dites selalu di atas rata-rata.

"Pola data siswa home schooling mirip siswa dari sekolah swasta favorit. Itu merupakan satu langkah maju bagi dunia pendidikan anak. Asal saja home schooling mereka benar-benar berkualitas," jelas dia.(Koran SI/Koran SI/nsa)



Pengakuan Legalitas Homeschooling di Indonesia Legalitas

Pengakuan Legalitas Homeschooling di Indonesia

Tanggal 10 Januari 2007 yang lalu, telah ditandatangani kesepakatan kerjasama antara Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas (PLS Depdiknas) dengan Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (ASAHPENA). Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Ace Suryadi, Ph. D (Dirjen PLS Depdiknas) dan Dr. Seto Mulyadi (Ketua Umum ASAHPENA). Berikut ringkasan isi kesepakatan yang meningkatkan pengakuan dan eksistensi homeschooling di Indonesia.

KESEPAKATAN KERJASAMA Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknasdan ASAHPENANomor: 02/E/TR/2007Nomor: 001/I/DK/AP/07Tanggal: 10 Januari 2007Tentang: Pembinaan dan Penyelenggaraan Komunitas SekolahRumah sebagai Satuan Pendidikan KesetaraanTandatangan:


Ace Suryadi, Ph.D, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Departemen Pendidikan Nasinal (Depdiknas)
Dr. Seto Mulyadi, Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif Indonesia (ASAHPENA) Tujuan:
Meningkatkan kuantitas dan kualitas SekolahRumah untuk memperluas akses pendidikan dasar 9 tahun jalur pendidikan nonformal (Paket A dan Paket B);


Memperluas akses pendidikan menengah jalur pendidikan nonformal melalui komunitas Sekolahrumah dan pendidikan alternatif;
Meningkatkan mutu, relevansi dan daya saing penyelenggaraan sekolahrumah dan pendidikan alternatif;
Meningkatkan kerjasama antara kedua belah pihak serta lembaga-lembaga penyelenggara sekolahrumah dan pendidikan alternatif yang terkait lainnya.


Ruang Lingkup kerjasama:

Pendataan dan pengadministrasian sasaran program Sekolahrumah;
Sosialisasi program Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan;

 Penyiapan dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia pendukung program Sekolahrumah;
Penyiapan dan pengembangan kurikulum, bahan ajar, dan penialain hasil belajar program Sekolahrumah;
Bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program Sekolahrumah Tugas dan Tanggung Jawab Depdiknas:
Menyiapkan acuan, kriteria, dan prosedur yang terkait dengan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan;
Memberikan bimbingan teknis dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan;
Memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap penyelenggaraan
Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan;
Melaksanakan bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan untuk
mengendalikan mutu Komunitas Sekolahrumah;
Memberikan rekomendasi/ijin keberadaan Komunitas Sekolahrumah sesuai
prosedur.

Tugas dan Tanggung Jawab AsahPena:
Melaksanakan pendataan dan pengadministrasian calon/peserta didik dan
keluarga penyelenggaran Sekolahrumah;
Menyiapkan Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang diperlukan;
Menyediakan sumberdaya sarana-prasarana pendukung pembelajaran;
Menyelenggarakan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan
Kesetaraan sejenis;


Melakukan pemantauan, evaluasi, dan pembinaan serta pelaporan secara
berkala tentang Komunitas Sekolahrumah;
Memfasilitasi peserta didik Komunitas Sekolahrumah untuk dapat mengikuti
Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh Ijazah Pendidikan Kesetaraan dan diakui sebagai ijazh yang
dapat digunakan untuk masuk sekolah/pendidikan formal, termasuk
perguruan tinggi negeri maupun swasta.


Pembiayaan:Pembiayaan penyelenggaraan Komunitas Sekolahrumah
ditanggung oleh masyarakat yang dikoordinasikan pihak kedua, sedangkan
pihak pertama dapat memfasilitasi perluasan akses dan peningkatan mutu
sesuai denagn peraturan yang berlaku