Rabu, 02 Mei 2007
Yanti Sriyulianti
Memindahkan anak-anak dari sekolah
secara permanen menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara
homeschooling alias sekolah-rumah. Bagi masyarakat kita, ijazah masih
menjadi satu-satunya modal untuk meningkatkan taraf hidup. Apalagi dalam
beberapa tahun terakhir ini sumber daya sekolah di Indonesia diarahkan
untuk selembar ijazah yang diperoleh dengan sistem penilaian sesaat untuk
menentukan kelulusan.
Belajar tiga tahun di sekolah menengah
seolah tidak berarti apa pun dalam menentukan kelulusan dari sekolah.
Akibatnya, guru-guru, sekolah, bahkan dinas terkait mengarahkan anak-anak
untuk mengejar nilai akhir. Jika demikian halnya, apa jadinya anak-anak
bangsa di masa depan?
Sejatinya, pemenuhan hak atas
pendidikan menjadi komitmen pemerintah. Demikian juga dengan upaya
penyatuan berbagai komitmen global untuk mencapai pendidikan untuk semua
(education for all). Kerangka Kerja Aksi Dakar mempertegas bahwa pendidikan
merupakan hak asasi manusia (HAM) dan telah menekankan pentingnya komitmen
pemerintah untuk mewujudkan pendidikan berbasis HAM yang diimplementasikan
untuk semua pada lingkup negara.
Menurut Katarina Tomasevski dalam buku
Pendidikan Berbasis Hak Asasi, agar pendidikan dapat disediakan (available)
pemerintah perlu menjamin pendidikan tanpa biaya dan wajib belajar bagi
semua anak. Pemerintah juga dituntut menghargai kebebasan para orangtua
untuk memilihkan anak-anaknya dalam memperoleh pendidikan berkualitas.
Agar pendidikan dapat dijangkau
(accessible), penghapusan diskriminasi sebagai mandat dari undang-undang
HAM internasional perlu menjadi prioritas kebijakan pendidikan. Agar
pendidikan dapat diterima (acceptable), hak-hak manusia seyogianya
diterapkan dalam proses pembelajaran. Agar pendidikan dapat disesuaikan
(adaptable), pendidikan perlu menyesuaikan minat utama setiap individu
anak.
Di tengah keengganan pemerintah untuk
mendengar amanat hati nurani warga negara terkait dengan korban UN 2006 dan
memenuhi amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas mengenai anggaran 20 persen dari
APBN dan APBD, ada secercah harapan dengan adanya pengakuan Direktorat
Kesetaraan Ditjen PLS Depdiknas terhadap komunitas sekolah-rumah.
Pendidik terbaik
Apakah saya dapat menjadi pendidik?
Hampir semua orangtua akan bertanya seperti ini ketika memutuskan untuk
memilih sekolah-rumah sebagai model pendidikan bagi anak-anak. Apakah
mungkin bagi orangtua untuk beralih fungsi menjadi guru bagi anak? Bukankah
perlu waktu bertahun-tahun untuk memenuhi kualifikasi guru?
Jawabannya adalah "ya".
Namun, belajar di sekolah sangat berbeda daripada belajar di sekolah-rumah.
Pengelompokan anak-anak sebaya dengan minat dan kemampuan yang berbeda
selama 6-7 jam sehari dalam satu ruang kelas pasti memerlukan profesional
yang sejahtera.
Bagi anak, mengembangkan potensi
secara aktif berarti melestarikan pengetahuan, penguasaan, dan kebajikan
dengan pengalaman belajar yang menyenangkan dalam bimbingan pendidik
terbaik. Homeschooling atau sekolah-rumah tidak menuntut orangtua menjadi
guru layaknya guru dalam ruang kelas. Cukup dengan mendorong anak untuk
menumbuhkan pengalaman belajar dalam balutan cinta, kasih sayang, dan
kehangatan keluarga. Keberhasilan sekolah-rumah sebenarnya sudah dimulai
ketika orangtua menyadari bahwa tiap anak adalah sebaik-baiknya ciptaan
Tuhan.
Pengalaman belajar kami sebagai
orangtua diperoleh ketika Zakky (11), anak kami, disiapkan untuk
sekolah-rumah sejak Oktober 2005 dan berhenti dari sebuah sekolah
alternatif di Jakarta. Sebelumnya, Zakky mendapatkan model pendidikan anak
merdeka dari kelas I sampai IV di SD Hikmah Teladan Cimahi. Tujuh bulan
lamanya masa transisi dari sekolah ke sekolah-rumah kami lalui dengan
membaca sejarah penemu dan ciptaannya serta melatih cara berpikir kritis,
peduli, dan kreatif untuk menjalankan kembali pendidikan anak merdeka.
Sejarah merupakan gerbang yang membuka
cara berpikir dan imajinasi jauh melebihi dataran, waktu, dan peradaban
manusia. Cerita atau dongeng sejarah membantu anak-anak memahami bagaimana
orang- orang pada waktu dan tempat yang berbeda, bagaimana perbedaan
karakteristik masyarakat dan peradaban manusia berubah dan bagaimana mereka
bisa bersama-sama menghasilkan karya- karya terbaik yang tak lekang oleh
zaman. Cerita-cerita terpilih seperti kisah para nabi, biografi
penemu-penemu ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sejarah bangsa-bangsa
mendorong motivasi berprestasi, cara menyikapi kegagalan dan kajian untuk
bertahan hidup.
Cerita Fitry (15) tentang mitologi
dari negara Skandinavia mengenai penciptaan dunia manusia yang diperolehnya
saat menelusuri referensi tentang gerhana matahari, atau antusiasme Zakky
menggali referensi tentang sejarah penciptaan alam semesta setelah keluar
dari planetarium, menyadarkan saya akan waktu-waktu berharga untuk tumbuh
bersama anak-anak yang sudah lama hilang. Anak- anak pada dasarnya telah
jadi pendidik terbaik.
Awalnya, kami memfasilitasi
pembelajaran Zakky dalam bentuk menyediakan guru dari SD Hikmah Teladan dan
mengajak keluarga penggiat sekolah-rumah lainnya untuk bergabung. Setelah
mencari informasi dari beragam sumber, kami memutuskan untuk membuka
komunitas sekolah-rumah dengan menguatkan partisipasi anak dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran.
Pengajaran harus ditujukan ke arah
perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta memperkokoh rasa penghargaan
terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Pengajaran harus mempertinggi
saling pengertian, rasa saling menerima, serta rasa persahabatan di antara
semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan atau golongan penganut agama,
serta harus memajukan kegiatan-kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian.
Dalam konteks ini, komunitas
sekolah-rumah sebagai model pendidikan kesetaraan yang diakui pemerintah
ditantang untuk bisa menjamin perlindungan anak agar tidak menyalahi
prinsip penyelenggaraan yang diamanatkan UU Sisdiknas maupun praktik
indoktrinasi yang mengarah pada fanatisme.
Modal belajar
Penyelenggara sekolah-rumah tidak
perlu berlelah-lelah dengan batasan kurikulum dalam sebuah kelas yang
disibukkan oleh 24 anak, bahkan lebih. Ketika hambatan terhadap penghargaan
ditiadakan, minat dan kemampuan anak terus digali serta tidak terpisahkan
dari kehidupan sehari-hari, maka budaya belajar jadi niscaya.
Masalahnya, belum banyak orangtua yang
yakin dapat mempraktikkan hal ini. Seminar, lokakarya, dan pelatihan
parenting mungkin dapat membantu. Tapi, ini belum lengkap tanpa
pendampingan program belajar keluarga.
Menghadirkan fasilitator yang
berpengalaman dalam mengimplementasikan pendidikan anak merdeka dalam Forum
OK! (Obrolan Keluarga) ternyata dapat memperkuat komunitas sekolah-rumah.
Setiap keluarga penyelenggara
sekolah-rumah dapat berbagi pengalaman belajar sambil mendiskusikan
perkembangan anak- anak dalam suasana yang penuh kekeluargaan. Bahkan, kini
sudah ada asosiasi sekolah-rumah dan pendidikan alternatif yang diharapkan
dapat menjadi badan amanah bagi komunitas sekolah-rumah dan pendidikan
alternatif di Indonesia.
Seluruhnya menjadi modal belajar yang
sangat berarti bagi komunitas sekolah-rumah. Apalagi jika komitmen
pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran yang memadai
bagi pemenuhan hak atas pendidikan berkualitas dan bebas biaya tidak hanya
bagi anak-anak sekolah, tetapi juga bagi pelaksana sekolah-rumah dan
pendidikan alternatif segera direalisasikan.
Yanti Sriyulianti Praktisi Pendidikan
dan Penggerak Sekolah-Rumah
|