Jurnalnet.com (Bandung): Pakar Pendidikan Anak, Seto Mulyadi atau dikenal sebagai Kak Seto, mengaku telah mencanangkan Program Home School sebagai alternatif pendidikan bagi anak-anak tanpa perlu belajar di sekolah, namun masih diupayakan agar anak didiknya bisa mengkuti ujian kesetaraan dari Pemerintah
`Bersama beberapa komunitas yang peduli pendidikan untuk semua, kami sudah membentuk Asosiasi Sekolah Rumah Pendidikan Alternatif (Asah Pena) pada 4 Mei lalu dan asosiasi ini diharapkan dapat memberikan pembelajaran alternatif bagi anak-anak tanpa harus pergi ke sekolah,` katanya.
Pembentukan ini sudah disampaikan kepada beberapa menteri dan Dirjen Pendidikan agar mendapat dukungan dari Pemerintah.
`Kami mencanangkannya di Departemen Pendidikan Nasional dan Dirjen sebagai pelindungnya, Direktur Kesetaraan sebagai penasihat yang akan mengatur ujian kesetaraan bagi anak yang ikut program Home School ini,` kata Kak Seto yang sudah menerapkan konsep ini pada tiga dari empat orang anaknya.
Ia menuturkan penerapan kurikulum pendidikan sekarang ini dapat dilakukan masing-masing sekolah sesuai dengan kewenangannya untuk menyusun kompetensi dasar kurikulum dan dapat juga berlaku untuk mereka yang memilih untuk belajar di rumah. `Kita bisa menyusun kurikulum dan evaluasi sendiri sesuai dengan delapan standar kompetensi yang sudah ditetapkan Depdiknas,` katanya.
Kak Seto mengingatkan, anak adalah potensi unggul dan penggalian potensi itu tergantung kemampuan guru untuk memberdayakan dan memfasilitasinya karena guru yang baik akan berfungsi sebagai fasilitator.
Ia menjelaskan, kurikulum yang dipakai dalam Home School juga sama yaitu mencakup standar isi, kelulusan, serta proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Konsep belajar di rumah ini, menurut Kak Seto, bisa dilakukan semenjak si anak bangun tidur sampai ia tidur kembali. Demikian juga tempat belajar bisa beragam, mulai dari ruang makan, dapur, kebun, pengalamannya berjalan bersama orang tuanya seperti mengunjungi dokter dan bertemu polisi di jalanan. `Semuanya pembelajaran benar-benar diaplikasikan dalam hidup,` katanya.
Konsep sistem belajar di rumah ini sudah banyak dilakukan di berbagai kota, seperti Yogyakarta, Bali, Manado, dan Balikpapan, bahkan sudah ada memulainya semenjak empat hingga 10 tahun lalu.
`Intinya, kita tetap bisa membuat mereka belajar dan memenuhi hak anak atas pendidikan tanpa dibatasi oleh biaya, jarak, anak cacat atau normal. Pembelajaran setiap anak berbeda, tidak bisa digeneralisir,` tuturnya.
Seto menambahkan orang tua tidak perlu khawatir dengan pendidikan lanjut bagi anaknya karena, untuk kelulusan tingkat sekolah dasar ada sekitar 17 kompetensi yang harus dipenuhi, antara lain, si anak bisa bergaul, sopan kepada orang tua, menerapkan pelajaran agama dengan benar.
`Caranya terserah masing-masing, tapi yang pasti, paradigma bahwa anak itu bagaikan sebuah gelas kosong dan harus diisi oleh guru sebaiknya harus ditinggalkan,` demikian pakar pendidikan anak.
Pada bagian lain ia juga mengkritik, standar kurikulum pendidikan di Indonesia yang dinilai cukup berat bagi anak-anak karena jumlah jam belajar mencapai lebih dari 1.400 jam per tahun, padahal, maksimal jam belajar yang ditetapkan Organisasi Pendidikan PBB (UNESCO) hanyalah 800 jam per tahun.
`Beban kurikulum yang melebihi standar tersebut malah akan menyebabkan anak tidak mau belajar dan kesan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan menjadi hilang,` katanya. Indikasi kejenuhan belajar itu terlihat dari sikap anak-anak yang merasa senang jika sekolahnya diliburkan jika guru-gurunya harus melakukan rapat.
Oleh sebab itu, pendidikan jangan selalu diindentikkan dengan sekolah karena inti dari pendidikan adalah menciptakan suasana di mana potensi masing-masing anak bisa berkembang secara optimal. `Banyak contoh belajar di rumah bisa lebih efektif, seperti yang diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara atau Buya Hamka,` ucapnya. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar